ARTICLE AD BOX
Hal tersebut membuat masyarakat rentan terpapar hoaks (berita bohong) yang dapat memicu perpecahan. Hal itu disampaikannya saat diskusi hukum bertema ‘Evaluasi Pilkada Tahun 2024 dalam Perspektif Hukum’ yang digelar Bawaslu Kota Denpasar bekerja sama dengan Malleum Iustitiae Institut di Sekretariat Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali, Jalan Jepun Kuning, Kesiman Kertalangu, Denpasar, Minggu (1/6).
“Berita bohong yang menyebar secara masif di media sosial bisa dengan mudah membentuk opini dan mempengaruhi pilihan politik masyarakat. Karena itu, pencegahan penyebaran hoaks menjadi salah satu fokus utama Bawaslu dalam Pemilu 2024,” tuturnya.
Sutrawan menyampaikan bahwa dalam mengevaluasi pemilu/pemilihan, penting untuk melihat konteks sejarah panjang penyelenggaraan pemilu di Indonesia yang terus berkembang sesuai dengan dinamika masyarakat. Menurutnya, perubahan strategi politik masyarakat turut mempengaruhi sistem dan pendekatan dalam penyelenggaraan pemilu.
“Evaluasi tidak bisa hanya berpatokan pada kejadian kekinian. Kita perlu menilik kembali bagaimana evolusi strategi politik turut membentuk sistem dan perilaku pemilih dari waktu ke waktu. Salah satu contohnya, dalam pemilu dan pemilihan belakangan ini, media sosial telah mengambil peran besar dalam membentuk opini publik,” ujarnya.
Koordinator Divisi Hukum KPU Kota Denpasar Made Windia, menyoroti persoalan rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah di Kota Denpasar. Hal ini, menurutnya, bukan disebabkan oleh ketidaktahuan, melainkan minimnya minat.
“Masyarakat di Denpasar sebagian besar berpendidikan tinggi dan tahu tahapan serta calon yang berkontestasi. Tapi mereka tetap memilih golput. Artinya, persoalannya bukan pada akses informasi, tapi pada kurangnya ketertarikan terhadap proses pemilihan itu sendiri,” ucapnya.
Untuk itu, Windia berharap para peserta diskusi yang berasal dari berbagai elemen mahasiswa dan organisasi masyarakat dapat turut serta mendorong peningkatan partisipasi pemilih di masa mendatang.
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Udayana (Unud) Efatha Filomeno Borromeu Duarte menyampaikan bahwa salah satu tantangan dalam penyelenggaraan pemilu/pemilihan adalah dinamika perubahan regulasi. Dia mencontohkan perubahan Peraturan KPU (PKPU) yang terjadi dalam waktu singkat sebagai kendala yang menghambat kepastian hukum.
Perubahan metode penyelenggaraan pemilu dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk perubahan strategi politik. Namun, regulasi harus hadir sebagai penjamin kepastian, bukan malah berubah saat proses sedang berjalan.
“Seharusnya, aturan hukum mengenai pemilu dan pemilihan sudah tuntas sejak awal, agar penyelenggara dan peserta memiliki kejelasan,” ujar Efatha. 7 adi