JPU Tolak Permohonan PK Terpidana Ketut Riana

10 hours ago 2
ARTICLE AD BOX
Penolakan ini disampaikan dalam pendapat JPU atas memori PK setelah pemeriksaan ahli dan penyerahan bukti surat dari terpidana melalui penasihat hukumnya di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, pada Kamis (8/5).

Dalam permohonan PK, terpidana mendalilkan adanya kekhilafan hakim terkait statusnya sebagai pegawai negeri yang menjadi unsur dalam pasal pidana yang didakwakan. Dikatakan, majelis hakim keliru menilai status bendesa adat sebagai penyelenggara negara, serta salah menafsirkan gaji, honorarium, dan hubungan kerja dengan pemerintah.

Dalil-dalil tersebut dinilai JPU hanya mengulang keberatan yang sudah pernah disampaikan terpidana dalam pledoi dan duplik saat persidangan tingkat pertama, yang seluruhnya telah dipertimbangkan dan ditolak oleh majelis hakim. Karena tidak mengajukan banding atas putusan tersebut, maka Ketut Riana dianggap menerima semua pertimbangan hukum yang telah dijatuhkan kepadanya.

"Alasan permohonan PK yang diajukan pemohon tidak memenuhi syarat materiil sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP, sehingga haruslah ditolak," demikian pernyataan JPU dalam pendapatnya.

JPU juga menanggapi alat bukti surat sebanyak 29 dokumen dan 17 dokumen novum yang diajukan Ketut Riana, yang seluruhnya dianggap tidak relevan dan tidak membuktikan dalil bahwa bendesa bukan pegawai negeri. Salah satunya karena bukti novum justru dibantah oleh ahli Bahasa Indonesia yang dihadirkan pemohon sendiri, Kadek Wirahyuni.

Dalam keterangannya di persidangan, ahli menjelaskan sejumlah poin penting mengenai perbedaan makna antara istilah-istilah seperti gaji, honorarium, insentif, dan beasiswa. Ahli menegaskan bahwa suatu kata tidak bisa dimaknai hanya berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), namun harus dianalisis berdasarkan konteks penggunaannya.

Sebagai contoh, hipernim dari 'pendapatan' adalah gaji, honorarium, insentif. Gaji itu bersifat rutin dan tetap, honorarium berdasarkan proyek, sedangkan insentif diberikan karena kinerja. Ahli juga menambahkan insentif tidak sama dengan upah, dan beasiswa termasuk dalam kategori bantuan yang tidak terkait dengan pekerjaan. 

Menurut ahli, upah dan gaji berbeda dari segi periodisitas dan kestabilannya. Gaji itu tetap, upah tidak tetap. Sementara beasiswa tidak bisa disamakan dengan gaji karena bukan bentuk kompensasi kerja.

Dengan demikian, JPU menyimpulkan bahwa seluruh alat bukti, baik yang diajukan sebagai surat biasa maupun novum, serta keterangan ahli yang dihadirkan tidak mampu membuktikan kekhilafan atau kekeliruan nyata dalam putusan hakim. 

"Bukti dan keterangan ahli justru memperkuat kesimpulan hukum sebelumnya bahwa beasiswa atau insentif yang diterima oleh Ketut Riana sebagai Bendesa Adat bersumber dari APBD dan memiliki karakteristik penggajian dalam konteks hukum pidana korupsi," tandas JPU.

Selain alat bukti dan keterangan ahli bahasa, JPU juga menanggapi keterangan ahli hukum pidana yang diajukan oleh pihak pemohon, Prof Dr Nyoman Nurjana. Ahli menerangkan kekhilafan hakim dalam konteks peninjauan kembali adalah kesalahan dalam menerapkan pasal atau memaknai subjek hukum dalam putusan. Menurutnya, jika seseorang diangkat sebagai kepala adat berdasarkan hukum adat, maka tidak dapat serta merta dikualifikasikan sebagai penyelenggara negara.

Nurjana menerangkan untuk dapat disebut sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara, pengangkatan harus berdasarkan hukum negara dengan adanya surat keputusan dari pemerintah. Tidak bisa dianalogikan apabila hanya berdasarkan hukum adat. Ia juga menekankan fokus utama dalam Peninjauan Kembali adalah pada ratio decidendi, yaitu pertimbangan hukum yang digunakan hakim dalam menjatuhkan putusan.

Namun demikian, JPU menilai keterangan ahli tersebut tidak memiliki korelasi langsung dengan pokok permohonan PK yang diajukan. “Menurut hemat kami, pernyataan ahli tidak relevan dengan pembuktian dalil kekhilafan hakim yang menjadi dasar permohonan,” tegas JPU.

Atas dasar keseluruhan bukti dan keterangan yang diajukan oleh pihak pemohon, JPU berkesimpulan tidak terdapat kekhilafan atau kekeliruan nyata yang dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. 

Menurut JPU, seluruh dalil tersebut tidak didasarkan pada fakta hukum yang sebenarnya, tidak sesuai dengan hukum pembuktian, serta mengabaikan konsep-konsep hukum dan pertanggungjawaban pidana yang telah dibuktikan dan dipertimbangkan oleh majelis hakim pada tingkat pertama atau judex facti.7 t
Read Entire Article