ARTICLE AD BOX
DENPASAR, NusaBali
Isu yang sempat mencuat di berbagai media mengenai 375 siswa SMP di Kabupaten Buleleng yang disebut tidak bisa membaca, menulis, dan berhitung (calistung) akhirnya diklarifikasi secara terbuka dalam pertemuan antara Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI dengan jajaran Pemerintah Provinsi Bali dan Pemerintah Kabupaten Buleleng, di Ruang Rapat Wiswasabha Pratama, Kantor Gubernur Bali, Niti Mandala, Denpasar, Kamis (22/5). Bupati Buleleng I Nyoman Sutjidra mengungkapkan siswa tak bisa membaca merupakan anak-anak berkebutuhan khusus.
Pertemuan merupakan bagian dari kunjungan kerja BAM DPR RI dalam rangka menyerap aspirasi masyarakat dan meninjau langsung tata kelola pendidikan dasar dan menengah di daerah. Rombongan dipimpin oleh Ketua Tim BAM Muhammad Haris, yang hadir bersama beberapa anggota lintas komisi dari berbagai daerah.
Haris menegaskan bahwa BAM merupakan alat kelengkapan DPR RI yang relatif baru, sehingga terus berupaya menyempurnakan tata kerja dan memperluas jangkauan fungsi, termasuk dalam fasilitasi penyelesaian isu-isu strategis nasional. Isu pendidikan menjadi salah satu perhatian utama, mengingat tantangan seperti rendahnya kemampuan literasi dasar masih menjadi persoalan nyata di berbagai daerah.
“Kami membaca laporan bahwa ada 375 siswa SMP yang belum bisa membaca, dengan rincian 155 di antaranya disebut tidak bisa membaca sama sekali. Kami ingin mendapatkan klarifikasi langsung dari daerah agar informasi ini bisa disampaikan secara proporsional dan tidak menimbulkan persepsi negatif yang keliru,” ujar Haris.
Dia menekankan bahwa sebagai lembaga yang menjalankan fungsi pengawasan, DPR RI berkewajiban memastikan bahwa setiap temuan atau pemberitaan penting harus diverifikasi dan ditindaklanjuti bersama mitra kerja, termasuk Kemendikbudristek dan lembaga pendidikan terkait.
Mewakili Gubernur Bali, Sekretaris Daerah Provinsi Bali Dewa Made Indra, yang menerima kehadiran rombongan Tim BAM DPR RI, menyampaikan bahwa kewenangan pendidikan menengah (SMA/SMK/SLB) berada di tingkat provinsi, sementara pendidikan dasar (SD/SMP) dikelola oleh kabupaten/kota.
“Karena isu ini menyangkut jenjang SMP, maka Pemerintah Kabupaten Buleleng yang memiliki kewenangan langsung. Kami hadir untuk mendukung dan memastikan bahwa koordinasi antarinstansi berjalan baik,” kata Sekda Dewa Indra.
Dia juga menegaskan bahwa pertemuan ini bukan sekadar forum diskusi, tetapi momentum penting untuk bersama-sama menghadirkan klarifikasi yang adil dan berimbang terhadap isu yang menyita perhatian publik.
Menanggapi isu yang disebutkan, Bupati Buleleng I Nyoman Sutjidra, mengungkapkan bahwa jumlah siswa yang mengalami hambatan membaca sebenarnya adalah 354 orang, bukan 375 seperti yang ramai diberitakan.
“Lebih penting dari sekadar angka, perlu saya tegaskan bahwa sebagian besar anak-anak ini merupakan siswa sekolah inklusi yang memiliki hambatan intelektual. Jadi, tidak tepat jika disebut sebagai ‘anak normal yang tidak bisa membaca’. Mereka ini anak-anak dengan kebutuhan khusus,” kata Sutjidra yang juga seorang dokter.
Dia menambahkan, dari hasil pendataan dan asesmen bersama Dewan Pendidikan dan Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), hanya sekitar 13–15 persen dari siswa tersebut yang mengalami hambatan membaca berat. Sisanya masih bisa membaca dengan pelan atau tidak lancar, dan sebagian besar memiliki IQ di bawah rata-rata.
Kepala Dinas Pendidikan, Kepemudaan, dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Buleleng I Made Astika, turut memaparkan langkah konkret yang telah diambil.
“Kami telah bekerja sama dengan Undiksha. Sebanyak 375 mahasiswa diterjunkan untuk mendampingi 375 siswa satu per satu, dibimbing oleh 60 dosen. Kami juga menggandeng tim psikolog untuk melakukan asesmen,” kata Astika.
Dari hasil asesmen pada 7 Mei 2025 terhadap 352 siswa, ditemukan bahwa 48 persen masuk kategori disabilitas intelektual (IQ < 70), 31,25 persen berada dalam rentang IQ 70–80 (borderline), dan sisanya tersebar antara IQ normal rendah, rata-rata, dan jenis hambatan lain. Artinya, lebih dari 85 persen siswa tersebut memang memerlukan pendidikan khusus, bukan program pembelajaran reguler. Namun, hingga kini mereka masih tersebar di 60 sekolah reguler yang belum memiliki fasilitas dan guru pendamping khusus (GPK) yang memadai.
Bupati Sutjidra dan Kadisdikpora Astika menekankan bahwa pihaknya telah memulai langkah solutif, termasuk program pendampingan ‘1 Mahasiswa 1 Siswa’, pembagian perlengkapan sekolah gratis bagi anak dari keluarga tidak mampu, serta upaya menurunkan angka putus sekolah akibat faktor ekonomi.
Haris menyambut baik paparan tersebut. Dia menyatakan bahwa klarifikasi yang disampaikan sangat penting guna membentuk persepsi publik yang benar, sekaligus menjadi masukan berharga bagi DPR RI untuk memperjuangkan peningkatan layanan pendidikan inklusi, termasuk kebutuhan guru pendamping, SLB, dan pelatihan tenaga pendidik.
“Kami ingin memastikan bahwa setiap anak Indonesia, termasuk yang berkebutuhan khusus, mendapat layanan pendidikan yang sesuai, adil, dan bermutu. Kami siap mengawal rekomendasi dari daerah agar mendapat perhatian dari pemerintah pusat,” kata anggota DPR Fraksi PKS, ini.
Anggota BAM DPR RI Ellen Esther Pelealu menambahkan, kasus sulit membaca, menulis, dan berhitung (calistung) pada siswa yang terjadi di Buleleng, bisa saja seperti gunung es dan muncul di daerah lainnya di Bali maupun Indonesia. Ellen menyebut dari pemaparan dan upaya yang sudah dilakukan Pemkab Buleleng, siswa yang mengalami kesulitan calistung masuk dalam kategori inklusi.
“Untuk jangka pendek siswa-siswi ini dikumpulkan di satu gugus atau kecamatan, kemudian ditangani oleh guru yang punya pendidikan khusus. Untuk jangka panjang, negara harus hadir dengan tupoksi masing-masing,” ucap Ellen.
Gerakan literasi sekolah dengan mewajibkan 30 menit baca setiap hari. Selain juga partisipasi komite atau orangtua untuk mendukung gerakan membaca di rumah. Ellen juga menyarankan ada penguatan kurikulum dan remedial, bagi siswa yang belum lulus calistung. 7 adi, k23