ARTICLE AD BOX
“Dari kajian-kajian kami dari 3,3 - 10,9 GW, namun realisasinya sampai 2024 baru 11,26 MW,” ujar Prof Giriantari saat menjadi pembicara dalam acara Sosialisasi Bali Mandiri Energi melalui Percepatan Pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap yang Ramah Lingkungan di Provinsi Bali bertempat di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali, Denpasar, Kamis (15/5). Dia mengungkapkan, tantangan pemasangan PLTS Atap selama ini adalah umur bangunan dan konstruksi bangunan yang kurang memadai. Hal ini mengingat panel surya memiliki bobot yang tidak ringan, sekitar 20 kilogram per meter persegi. Selain itu kebijakan dari pemerintah pusat yang cepat berubah terkait PLTS Atap turut menghambat perkembangannya di Bali.
Lebih lanjut, Prof Giriantari juga menyampaikan bahwa masyarakat sering mengeluhkan biaya pemasangan PLTS Atap yang tidak murah. Selain itu panel surya juga perlu perawatan rutin. Karena ketika cuaca buruk produktivitas panel surya dapat terganggu. “Di Bali masih kurang SDM untuk melakukan perawatan ini (panel surya),” ungkap Kepala Pusat Energi Terbarukan Berbasis Masyarakat (CORE) Universitas Udayana ini.
Prof Giriantari menambahkan ada tiga jenis PLTS atap yang umum digunakan. Pertama ada skema on grid yang terhubung langsung ke jaringan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Energi berlebih di siang hari akan masuk ke PLN. Sebaliknya, PLN akan menyuplai saat PLTS tidak mencukupi. Kedua, terdapat skema off grid. Jenis PLTS ini tidak terhubung ke PLN. Seluruh energi disimpan dalam baterai. “Sistem ini cocok untuk cadangan energi, tetapi memerlukan perhitungan kapasitas baterai yang cermat agar dapat memenuhi kebutuhan listrik 24 jam,” kata jebolan Universitas New South Wales, Australia untuk gelar master dan doktor dalam bidang tenaga Listrik ini. Terakhir ada sistem hybrid, yaitu kombinasi antara on grid dan baterai. Meski terhubung ke PLN, sistem ini tetap dilengkapi baterai sebagai cadangan. 7 adi