ARTICLE AD BOX
Dalam putusan sebelumnya, majelis hakim menjatuhkan hukuman penjara selama 4 tahun dan denda Rp 200 juta.
Hal ini disampaikan oleh kuasa hukum Ketut Riana, Gede Pasek Suardika yang sudah menyerahkan memori PK. Ia menyebut pengajuan PK didasari oleh keyakinan bahwa dalam putusan sebelumnya terdapat kekhilafan hakim. Selain itu, menurutnya, juga terdapat novum atau bukti baru yang akan diungkap di sidang. “Selain kehilafan hakim, juga ada novum. Nanti ya, pas sidang saja,” singkat Pasek, Senin (7/4).
Sidang perdana PK ini dijadwalkan digelar pada Selasa (8/4) pukul 10.00 Wita di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar. Dijelaskan, Permohonan PK diajukan melalui tim penasihat hukumnya dari Berdikari Law Office, yaitu Gede Pasek Suardika, I Made Kariada, Kadek Cita Ardana Yudi, Komang Nilan Adnyani, dan I Nyoman Widayana Rahayu.
Seperti diketahui, Ketut Riana adalah Bendesa Adat Berawa, Desa Tibubeneng, Kuta Utara, Badung. Ia lahir di Badung pada 21 April 1970. Dalam putusan pada 3 Oktober 2024, Majelis Hakim Ketua, Gede Putra Astawa, menyatakan Riana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut.
Ia dijerat Pasal 12 huruf e UU Tipikor juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. “Menyatakan terdakwa I Ketut Riana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut. Menjatuhkan pidana penjara selama 4 tahun dan denda sejumlah Rp 200 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 4 bulan,” ujar majelis hakim saat membacakan amar putusan.
Majelis menyatakan unsur-unsur dalam dakwaan terbukti, termasuk status Ketut Riana sebagai penyelenggara negara karena menerima insentif dari APBD Badung dan Pemprov Bali. Hakim juga menyatakan Riana terbukti menyalahgunakan kekuasaan dan memaksa seseorang memberikan sesuatu, dengan merujuk pada bukti percakapan WhatsApp dan keterangan saksi.
Kasus ini bermula dari permintaan uang sebesar Rp 10 miliar kepada Adianto Nahak T Moruk, yang mewakili PT Berawa Bali Utama dalam pengurusan izin pembangunan di kawasan Berawa. Permintaan itu disampaikan secara berulang dan tidak dilaporkan kepada perangkat desa lainnya. Percakapan WhatsApp antara terdakwa dan saksi pun menjadi bukti kunci dalam persidangan.
Selain itu, majelis hakim juga tidak sependapat dengan pembelaan tim kuasa hukum yang menyebut perkara ini sebagai suap. Unsur pemaksaan dinilai terbukti, begitu pula dengan perbuatan yang dilakukan secara berulang. Namun, hakim menyatakan tidak terdapat kerugian negara dalam perkara ini, sehingga tuntutan uang pengganti Rp 50 juta dari jaksa ditiadakan. Uang tunai Rp 100 juta yang sempat diterima terdakwa dari saksi Adianto diperintahkan untuk dikembalikan.
Sementara itu, Humas PN Denpasar Gede Putra Astawa yang juga menjabat sebagai Ketua Majelis Hakim dalam perkara ini saat dihubungi hanya memberikan jawaban singkat dan belum dapat memberikan tanggapan resmi. “Besok saya cek infonya ya. Hari ini PN masih libur,” ujarnya, Senin kemarin. 7 t