ARTICLE AD BOX
Somvir menyoroti maraknya fenomena kawin kontrak dan lemahnya pengawasan terhadap jual beli tanah yang diduga dimanfaatkan oleh WNA untuk menguasai aset di Bali melalui warga lokal.
“Soal nominee di Bali ini kan bukan hal baru. Masalah ini sudah lama. Banyak orang asing datang, kalau ikuti hukum kan jelas. Kalau dia mau punya aset, bisa bentuk PT atau PMA. Tapi yang terjadi, banyak justru pakai nama orang lokal,” ujar Anggota Komisi I DPRD Bali ini, Selasa (15/4). Somvir menegaskan hukum di Indonesia sudah memberikan jalan legal bagi WNA yang ingin berinvestasi atau tinggal dalam jangka panjang. “Kalau dia bentuk PMA, lalu bisa punya saham, dari situ dia dapat KITAS selama 5 tahun, lalu KITAP, bahkan bisa ajukan jadi WNI. Kalau dia menikah dengan WNI, ada juga syarat-syaratnya. Semua itu sudah ada dasar hukumnya,” terangnya.
Praktik nominee ini sangat riskan dan perlu diatur dengan tegas. Fraksi Demokrat NasDem DPRD Bali, kata dia, telah mendengar komitmen Gubernur Bali Wayan Koster yang juga akan menyelesaikan persoalan ini melalui regulasi. “Kalau larang orang luar menikahi orang lokal terus beli tanah ya tidak bisa juga, karena ini soal suka sama suka. Tapi hukum harus ditegakkan. Di lapangan, banyak yang sembunyi di balik nama warga lokal. Jadi harus cari solusi, supaya win-win solution. Bali butuh investasi, tapi jangan sampai tanah dikuasai tanpa transparansi,” tegasnya.
Somvir menjelaskan sekarang sebenarnya orang asing bisa langsung membentuk PMA 100 persen tanpa harus melibatkan warga lokal. “Dulu kan harus 51-49 persen, sekarang sudah tidak. Tapi banyak yang belum tahu. Jadi kadang mereka pikir harus nikah dulu baru bisa. Padahal langsung bisa bentuk PMA dan beli tanah atas nama perusahaan. Tapi tetap, harus bayar pajak dan transparan,” jelasnya. Menurutnya, banyak orang asing yang menikah dengan warga Indonesia, namun hanya sebagai jembatan untuk membeli tanah. Setelahnya, aset tersebut dikelola atas nama pasangan lokal, sementara pihak asing tetap memegang kendali penuh, sering kali dengan perjanjian tersembunyi melalui notaris. Sistem ini tidak hanya melanggar hukum, tapi juga merugikan daerah karena nilai transaksi sering dimanipulasi.
Fraksi Demokrat NasDem juga menilai Badan Pertanahan Nasional (BPN) perlu memperketat pengawasan administratif. Meski data yang masuk ke BPN sah secara hukum, nyatanya banyak perjanjian terselubung yang tidak terdeteksi, karena dibuat oleh notaris tanpa pengawasan. Somvir melihat peran notaris sangat besar dalam memfasilitasi kerja sama tersembunyi antara warga asing dan lokal. Ia mengungkapkan dalam banyak kasus, notaris menjadi pintu masuk manipulasi nilai transaksi. Saat proses jual beli berlangsung, harga akta sering kali diturunkan agar pajak yang dibayar lebih kecil dari semestinya. Padahal nilai sebenarnya bisa dua sampai tiga kali lipat.
“Misalnya kalau beli Rp 3 miliar, ditulis Rp 1 miliar saja. Ini permainan. Yang rugi jelas pemerintah,” ucap Somvir. Hingga kini belum ada pengawasan yang memadai terhadap profesi notaris dalam konteks jual beli properti oleh WNA. Akibatnya, banyak aset asing yang secara formal terdaftar atas nama warga lokal, namun secara substansi dikuasai penuh oleh orang asing. Fraksinya juga akan mendorong agar ketentuan soal transparansi notaris juga masuk dan dibahas dalam Ranperda Nominee.
“Nanti akan diusulkan pasti ini harus kita tuntaskan, itu banyak uang itu PAD bisa masuk ke Provinsi/Kabupaten dari transaksi jual beli itu. Notaris itu harus transparan. Kalau bisa online semua, BPN dan pemerintah bisa tahu nilainya. Sama seperti pajak sekarang, PBB juga sudah online, masa jual beli tanah belum?” katanya. Somvir menilai belum pernah ada mekanisme pengawasan khusus terhadap notaris dalam konteks jual beli properti yang melibatkan WNA. Ia mengaku anggota DPRD Bali pun selama ini tidak pernah mendapat informasi terkait itu, karena memang belum dianggap masalah serius.
Namun, dengan mencuatnya isu kawin kontrak dan penyelundupan hukum dalam kepemilikan tanah, ia menyebut saatnya Bali bertindak “Nanti akan kami usulkan masuk ke Raperda nominee. Ini penting, karena dari jual beli saja kalau transparan, PAD bisa masuk sangat besar. Provinsi dan kabupaten/kota dapat, negara juga dapat,” ucapnya.
Ia memberi contoh kawasan Nusa Dua, di mana banyak hotel besar ganti nama dalam waktu singkat. Namun, tidak pernah ada informasi apakah hotel itu dijual, berpindah tangan, atau hanya operasional berganti. Menurutnya, transaksi seperti itu harus diawasi dan dilaporkan secara terbuka. “Jangan cuma rakyat kecil yang dikejar. Hotel besar yang jual beli triliunan itu siapa yang awasi? Saya lihat sendiri di Nusa Dua, hotel ganti nama terus. Apakah provinsi tahu?” tegasnya. Isu lainnya yang juga menjadi perhatian Fraksi Demokrat NasDem adalah banyaknya tanah yang dibeli orang asing atau luar Bali namun dibiarkan kosong selama bertahun-tahun. Somvir menyebut, di beberapa wilayah seperti Desa Bukti dan Tejakula, Buleleng, ia menemukan puluhan hektare tanah yang tidak dimanfaatkan sama sekali. “Kalau tiga tahun tidak dibangun atau ditanam, ya sebaiknya tanah itu dimanfaatkan oleh desa adat atau petani lokal. Jangan sampai dibiarkan tidak produktif,” ucapnya. 7 t