ARTICLE AD BOX
“Saya tidak mengikuti secara detail kasus yang terjadi di Buru, tetapi jika menelusuri praktik PSU yang pernah dilakukan di Indonesia, saya memiliki beberapa argumentasi mengapa peluang dikabulkannya gugatan itu kecil,” kata Irham, di Ambon, Jumat (11/4).
Hal ini disampaikan menyusul adanya gugatan pasangan calon Amustafa Besan-Hamza Buton yang kembali menggugat Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Buru ke Mahkamah Konstitusi (MK) setelah PSU pada 5 April 2025. Ia menyoroti dinamika hukum dalam sengketa pemilihan kepala daerah tersebut. Menurutnya, secara teknis hukum, gugatan terhadap hasil PSU bukanlah "gugat ulang", melainkan suatu gugatan baru terhadap keputusan terbaru yang dihasilkan dari pelaksanaan PSU.
Namun demikian, meskipun secara teori memungkinkan, peluang untuk MK mengabulkan gugatan tersebut dipandang sangat minim. Ia memaparkan, empat poin utama sebagai dasar analisisnya, yang pertama, preseden ketatanegaraan, hingga saat ini, belum pernah ada preseden di mana MK mengabulkan gugatan ulang setelah PSU dilakukan dan KPU mengeluarkan keputusan baru. Biasanya, PSU hanya dilakukan satu kali berdasarkan putusan MK.
Pertimbangan keadilan, hakim MK diyakini akan mempertimbangkan rasa keadilan, baik bagi pasangan calon yang telah memenangkan PSU maupun bagi masyarakat yang telah menggunakan hak pilihnya kembali. Kemudian, Asas peradilan sederhana dan efisien, MK menjunjung asas peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan. Mengabulkan gugatan ulang berpotensi bertentangan dengan prinsip ini.
Asas Ius Curia Novit, meski peluang dikabulkan kecil, MK tetap tidak boleh menolak gugatan yang diajukan, karena berdasarkan asas ius curia novit, pengadilan tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu perkara dengan alasan hukum yang tidak jelas atau tidak ada. “Dengan mempertimbangkan keempat hal tersebut, saya menilai bahwa meskipun gugatan hasil PSU Pilkada Buru secara hukum tetap bisa diajukan, peluangnya untuk diterima dan dikabulkan oleh MK sangat kecil,” ujarnya.7 ant