ARTICLE AD BOX
Hal itu, disampaikannya dalam pembukaan diskusi ‘Warisan Bung Karno untuk Asia-Afrika dan Keadilan Sosial Global’ sebagai peringatan 70 Tahun KAA yang digelar Badan Sejarah Indonesia PDI Perjuangan, di Kantor DPP PDIP, Sabtu (26/4).
"Kita semua melihat bahwa konferensi Asia Afrika 1955 dipandang sebagai suatu pertemuan bersejarah. Pertama, pemimpin-pemimpin bangsa yang pernah terjajah untuk menghapuskan kolonialisme dan mengokohkan solidaritas Asia Afrika," ujar Wesaka Puja. Dia menjelaskan, KAA 1955 tidak hanya mengakhiri era kolonialisme tetapi juga melahirkan gerakan nasionalisme dan Non-Blok sebagai kekuatan politik baru. "Meskipun kita tahu dalam konteks latar belakang bagaimana pergerakan antara non-alignment dan pihak-pihak atau kelompok-kelompok negara yang ingin bersekutu dengan negara-negara besar pada waktu itu mengalami kontradiksi dan juga berdiskusi secara hebat di Bandung," imbuh Wesaka Puja.
Dia pun, menyoroti isu-isu krusial yang dibahas dalam KAA, termasuk ras, warna kulit, dan agama. "Lesson learned yang bisa kita ambil dari pertemuan tahun 1955 bahwa isu ras, isu kulit warna dan juga agama menjadi topik yang dibahas meskipun sebenarnya persoalan agama tidak terlalu menonjol karena lebih menonjol yaitu isu-isu nasionalisme," jelasnya. Menurut Wesaka Puja, nasionalisme dan antikolonialisme menjadi tema sentral dalam KAA. "Nasionalisme, antinasionalisme, dan neo-kolonialisme menjadi isu sangat penting dalam pembahasan di Bandung. Kemerdekaan tidak lagi hanya mimpi," tegas Wesaka Puja.
Dia juga mengingatkan dinamika perdebatan antara gerakan Non-Blok dengan negara-negara yang ingin bersekutu dengan kekuatan besar saat itu.
"Non-blok, prinsip non-blok yang sebenarnya diperjuangkan oleh Indonesia, India, dan Burma pada waktu itu sekarang menjadi Myanmar, melawan beberapa kelompok-kelompok negara yang memang hadir di Asia Afrika, Bandung tahun 1955 sebenarnya untuk menggerus keinginan supaya konferensi Asia Afrika ini menjadi sebuah gerakan," papar Wesaka Puja.
Diketahui diskusi ‘Warisan Bung Karno untuk Asia-Afrika dan Keadilan Sosial Global’ dibagi dalam dua sesi menghadirkan sejarawan, diplomat, dan akademisi. Diskusi Panel I bertema Semangat Bandung dan Tantangan Asia-Afrika Kini dengan narasumber Dr Wildan Sena Utama (Sejarawan UGM), I Gusti Wesaka Puja (Direktur Eksekutif ASEAN Institute for Peace and Reconciliaton) dan Ita Fatia Nadia, MA (Sejarawan dan Aktivis Gerakan Perempuan).
Diskusi Panel II bertema Peran Bung Karno dan Warisan Diplomasi Global dengan narasumber Andi Widjajanto PhD (Kepala Badan Riset dan Analisa Kebijakan atau BARAK PDI Perjuangan), Dr Yeremia Lalisang (Dosen Hubungan Internasional FISIP UI), dan Dr Sigit Aris Prasetyo (Diplomat dan Penulis Buku Dunia Dalam Genggaman Bung Karno). Lalu masuk sesi Kuliah Umum dengan tema Peran Indonesia dalam Pembebasan Asia-Afrika yang dibawakan David van Reybrouck -Sejarawan Belgia, Penulis Buku Best Seller "Revolusi: Indonesia and the Birth of the Modern World". 7 k22