Sidang PK Bendesa Adat Berawa Ditunda

1 week ago 2
ARTICLE AD BOX
DENPASAR, NusaBali
Sidang perdana Peninjauan Kembali (PK) terpidana kasus korupsi, Bendesa Adat Berawa, Desa Tibubeneng, Kuta Utara, Badung, I Ketut Riana, ditunda oleh Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Denpasar I Wayan Yasa, pada Selasa (8/4). Sidang yang sedianya beragenda pembacaan permohonan PK tersebut ditunda karena Riana belum dapat dihadirkan ke ruang sidang, baik secara langsung maupun daring.

Permohonan PK ini diajukan oleh tim penasihat hukum yang terdiri dari Gede Pasek Suardika, I Made Kariada, Kadek Cita Ardana Yudi, Komang Nilan Adnyani, dan I Nyoman Widayana Rahayu. Salah satu kuasa hukum terpidana dari Berdikari Law Office bernama, I Nyoman Widayana Rahayu, menjelaskan penundaan terjadi karena belum ada surat dari pengadilan untuk menghadirkan terpidana.

“Untuk sidang pertama ini ditunda. Seharusnya agendanya pembacaan permohonan peninjauan kembali, tapi ditunda karena terpidana belum bisa hadir hari ini. Jadi kita tunggu saja untuk sidang selanjutnya pada Senin (14/4),” ujarnya saat ditemui usai sidang.

Rekan satu timnya, Kadek Cita Ardana Yudi, menambahkan proses persidangan akan dilanjutkan secara daring. Ditanya terkait alasan terpidana Riana tidak dapat hadir, pihaknya menyatakan tidak memiliki kewenangan menghadirkan terpidana karena berada di luar wilayah mereka.

“Hakim sudah memerintahkan akan memberikan penetapan untuk Senin (14/4) depan. Setelah itu, kami akan mengoordinasikan dengan pihak Lapas agar proses persidangan bisa dilakukan secara daring. Jadi masalahnya saat ini ya lebih pada masalah teknis proses sidang aja,” katanya. 

Kadek Cita menjelaskan, sidang berikutnya direncanakan digelar via zoom. Agenda tetap akan dilanjutkan dengan pembacaan permohonan PK yang sudah disiapkan tim kuasa hukum. Dalam sidang mendatang, mereka juga akan menghadirkan novum atau bukti baru yang diklaim relevan dengan pembelaan terpidana. “Nanti hari Senin masih menghadirkan itu, nanti kita ikuti perkembangannya,” katanya.

Terkait alasan pengajuan PK, Widayana Rahayu menjelaskan PK ini diajukan karena adanya pertimbangan hukum yang dianggap tidak dipertimbangkan majelis hakim dalam putusan sebelumnya. “Setelah kami membaca keputusan dari pengadilan tindak pidana korupsi Denpasar, kami melihat adanya beberapa pertimbangan yang tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim pada waktu itu. Kalau kita merujuk pada Pasal 263 KUHP, adanya kekhilafan hakim itu menjadi salah satu hak kami untuk mengajukan permohonan kembali in,” jelasnya.

Lebih jauh, dia menyebut permohonan PK ini juga dilandasi niat untuk menjaga eksistensi dan otonomi desa adat di Bali. Menurutnya, desa adat telah diakui secara konstitusional dalam Undang-Undang Dasar, serta memiliki ciri khas dan karakter yang berbeda dari struktur pemerintahan Indonesia. 

Dia khawatir jika putusan ini menyamakan desa adat dengan pemerintahan formal, maka ke depan bisa menimbulkan kekacauan dalam tatanan adat di Bali. “Jadi kan bisa dibayangkan kalau dari putusan ini bisa membuat menyamakan desa adat, desa yang otentik sendiri dengan pemerintahan kan nanti ke depannya Bali agak berantakan,” tuturnya.

Kadek Cita menambahkan, dalam perkara ini bendesa adat dikategorikan sebagai penyelenggara negara karena menerima insentif dari APBD. Hal itu menurutnya menimbulkan persoalan dalam konteks pemberdayaan desa adat. “Jadi ada semacam perjuangan misi kami. Saat ini berdasarkan putusan perkara ini, bendesa adat dikategorikan masuk sebagai pegawai negeri. Ini kan dalam konteks pemberdayaan dan mempertahankan desa adat menjadi anomali karena semua orang bisa dijerat dengan pidana korupsi,” ujarnya.

Dia menekankan, sebagai pengacara pihaknya tidak berpatokan pada hanya memenangkan perkara saja, tapi lebih mendudukkan porsi perkara atau keadilan setepatnya. “Kita tidak membela kejahatannya, tapi kita membela prosedurnya. Kalau memang terjadi penyelewengan dalam konteks hal semacam desa adat dan lain sebagainya, tentu bisa mengambil pola pidana umum, bukan pidana khusus Tipikor ini. Jadi kita pada misi itu juga dalam konteks menjaga desa adat Bali,” katanya.

Sebagaimana diketahui, dalam putusan 3 Oktober 2024, Majelis Hakim PN Denpasar telah menjatuhkan pidana penjara selama 4 tahun dan denda Rp 200 juta kepada I Ketut Riana. Riana dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut, termasuk menyalahgunakan kekuasaan dengan memaksa pihak swasta memberikan uang dalam pengurusan izin pembangunan di kawasan Berawa. Riana dijerat dengan Pasal 12 huruf e UU Tipikor jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Dalam pertimbangan putusan, majelis hakim menyatakan bahwa Riana terbukti menyalahgunakan kekuasaan untuk memaksa seseorang memberikan uang, yakni kepada saksi Adianto Nahak T Moruk dari PT Berawa Bali Utama, terkait pengurusan izin pembangunan di kawasan Berawa. Permintaan uang disebut dilakukan secara berulang dan tidak dilaporkan kepada perangkat desa lainnya. Percakapan melalui aplikasi WhatsApp menjadi bukti kunci dalam sidang.

Namun, hakim menilai tidak terdapat kerugian negara dalam perkara ini, sehingga tuntutan uang pengganti Rp 50 juta dari jaksa ditiadakan. Uang tunai Rp 100 juta yang diterima Riana dari saksi Adianto diperintahkan untuk dikembalikan. 7 t
Read Entire Article